Suu Kyi
Thursday, March 19, 2009
...............................
Aung San Suu Kyi dirundung malang tak habis-habisnya. Ketika Za Hsaing, pemimpin gerakan menentang demokrasi di Murma (Myanmar), sedang rajin-rajinnya mengkampanyekan ”penghancuran” SUU Kyi. Putri tokoh kharismatik Burma Aung San ini dihujat Za Hsaing sebagai orang yang tak mempedulikan kepentingan bangsa dan hanya berminat pada perebutan kekuasaan.

Bertahun-tahun sejak akhir 1980-an Suu Kyi memperjuangkan tegaknya demokrasi di negara yang di cintainya itu. Partai yang dipimpinnya adalah National League for Democracy (NLD) – Liga Nasional untuk Demokrasi, kemudian memetik kemenangan dalam pemilu yang pertama kali diadakan oleh junta militer di penghujung tahun 1980-an. Namun junta kemudian menunda-nunda dan akhirnya membatalkan penyerahan kekuasanaan sesuai hasil pemilu pada saat itu.

Kemudian Suu Kyi harus menjalani hari-hari panjang sebagai pejuang demokrasi yang terus direpresi junta dan menanggung banyak sekali penderitaan psikologis, sosial dan politik. Setelah memenangkan pemilu ia justru jadi tahanan politik junta. Lalu tiba-tiba orang seperti Za Hsaing yang justru menghujatnya sebagai pencari kekuasaan dan penyengsara bangsa.

Disini mengingatkan kita akan Larry Diamond dalam bukunya ”Democratic Revolution” dalam buku itu ditulis bahwa para pelaku penting gerakan prodemokrasi bercerita tentang pengalaman perjuangan demokrasi di negaranya masing-masing. Diantara banyak keunikan kasus, ada sebuah benang merah yang terbaca tegas : Para pejuang demokrasi kerap kali menghadapi persoalan yang semakin rumit dan berat manakala fase transisi yang harus dijalani terkatung-katung dalam rentang waktu yang terlampau lama dan proses politk yang lamban.

Cerita tentang Suu Kyi dan gerakan prodemokrasi di Myanmar adalah sebuah cerita ekstrim. Yang sebetulnya bisa dimasukkan dalam benag merah itu, dimana Ketika Suu Kyi telah memangkan pemilu ia sebetulnya sudah menginjakkan di pintu transisi dari otoritarianisme. Namun sejarah, dan rupanya Tuhan berkehendak lain. Pasca kemenangan NLD, Burma seolah mengulang cerita serupa di sejumlah negara berkembang lainnya. Itulah cerita fase musim semi kekebasan yang pendek. Tak saja pendek namun fase inipun tak mengantarkan masyarakatnya menuju perubahan demokratis, melainkan membawa mereka ke rekonsolidasi otoritarianisme yang dikelola penguasa lama atau baru, Dan inilah proses sirkulasi.

Begitulah tampaknya kisah Suu Kyi dan masyarakat Burma. Suu Kyi bahkan tidak diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi aktor transisional. Ia diberi sedikit nafas ketika menggalang kekuatan prodemokrasi dalam tahun-tahun menjelang pemilu, namun langsung di cekik kembali justru setelah keluar sebagai pemenang. Lalu apa pelajaran berharga dari Suu Kyi untuk kita?

Ada beberapa hal yang layak digaris bawahi dari cerita Suu Kyi. Pertama, militer Burma dengan perlengkapan ekonomi dan politik yang paling lengkap tidak pernah membiarkan kompetitornya bebas tumbuh dan membesar, ternyata dengan gampang muncul sebagai pembajak proses transisi. Dan akhirnya status Quo bisa diraih.

Kedua, Kasus transisi yang abortif di Burma juga menjelaskan rapuhnya proses politisasi dan rakyat yang tak memiliki basis politik dan ideologi yang cukup. Menjelang pemilu, Burma dilanda semacam euphoria rakyat dengan mnculnya ratusan partai politik. Pada saat yang sama pula agenda pembenahan infrastruktur ideologi dan politik gerakan rakyat terabaikan, yang pada akhirnya terkesan sebagai sorak pemandu bagi kekuasaan junta.

Ketiga, aborsi transisi emokrasi Burma kosong oleh tersedianya karakter masyarakat warisan Jenderal Ne Win yang tak punya daya kritis, lalu junta militer bisa mensubversi atau mengkudeta transisi menuju demokrasi. Masyarakat semacam inilah yang dimanfaatkan oleh Za Hsaing untuk membuat hujatan kepada Suu Kyi seolah-olah atas nama dan untuk kepentingan Burma .

Tiga pelajaran tentan Suu Kyi ini hendaklah dijadikan contoh bagi para pelaku politik di Indonesia yang terlihat mencemaskan, jangan-jangan euphoria reformasi sepeninggal orde lama sebetulnya merupakan sebuah upacara yang diam-diam dileselenggarakan untuk mengantar munculnya otoritarianisme baru.

Kesimpulan yang bisa saya ambil dari sini adalah : Jika Indonesia gagal membangun publik dan oposisi yang kuat, maka memang upacara semacam itulah yang akan terjadi nanti.

** Kisah Suu Kyi ini diambil dari literatur dan berbagai sumber yang pernah dibaca oleh pemilik Blog.
posted by Embun Pagi @ 6:37 AM

3 Comments:

  • At March 19, 2009 6:14 PM , Anonymous Anonymous said...

    Jim Carey aktor komedi mengatakan, "Dia (Suu Kyi) adalah juara pembela hak asasi dan pejuang di Asia dan simbol atas harapan kaum tertindas."


    "Walaupun dia seperti gabungan antara Ghandi modern dan Nelson Mandela, tapi kebanyakan orang di Amerika masih tidak mengenal Aung San. Kita sadari, namanya memang susah untuk diingat."


    "Ini yang akan aku lakukan: Aung San terdengar seperti 'unsung' (baca: ansang), seperti pahlawan unsung. Aung San Suu Kyi adalah pahlawan unsung yang sebenarnya."


    Suu Kyi menjadi tahanan rumah di kota Yangon saat para pendemo yang tidak bersalah melawan rezim Than Shwe di negeri tersebut. Jim Carey dipanggil oleh beberapa tempat produksi yang ikut menandatangani proyek US Campaign for Burma dan Human Rights Action Center, untuk membebaskan Suu Kyi

     
  • At March 19, 2009 6:19 PM , Blogger Nuga said...

    Secara khusus aku belum pernah me-nelaah tentang Aung San Suu Kyi ini, ndak begitu kenal, dan belum pernah kenalan. Palagi skg jarang baca tv, dan liat koran. Tapi baca posting ini jadi tau sedkit banyak.

    Pokoke aku ndak mau kalah, mo posting rezim2 juga. Tunggu aja.

     
  • At March 19, 2009 9:36 PM , Blogger reni said...

    Terus terang.., awalnya aku gak tahu banget tentang Suu Kyi.
    Tapi setelah baca disini dapat pengetahuan baru deh. Thanks ya..

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

 
My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia
Previous Posts